Elegant Themes

Friday, May 1, 2015

Sudah Benar-Benar Syariahkah Bank Syariah di Indonesia?

Lanjutan dari yang kemarin ya..

Bank Syariah belakangan ini menjadi fenomena di dunia finansial dan perbankan. Dengan menganut sistem yang berbeda dari bank biasa (bank konvensional), Bank syariah turut disebut-sebut sebagai jawaban atas semrawutnya sistem perbankan di seluruh dunia. Banyak pakar berpendapat perbankan syariah memiliki karakteristik berupa less heat, maka dari itu sistem ini tahan menghadapi krisis. Sistem perbankan konvensional dan berbagai instrumen keuangan yang aneh-aneh dituduh sebagai biang kerok berbagai krisis keuangan yang terjadi, dengan krisis finansial yang terkini adalah subprime mortgage crisis di Amerika tahun 2008.
Saat ini, sejak awal perkembangan bank syariah pada tahun 2000an market share bank syariah di Indonesia berkisar 5% dari total aset bank secara nasional. Jumlah nasabah bank syariah saat ini masih di bawah 10 juta, sehingga potensi peningkatan nasabah perbankan syariah masih sangat besar, mengingat jumlah penduduk usia produktif Indonesia terus bertambah. Hingga Oktober 2014, jumlah industri Bank Umum Syariah (BUS) tercatat sebanyak 12 bank, jumlah Unit Usaha Syariah (UUS) sebanyak 22 bank, BPRS sebanyak 163 bank, dan jaringan kantor sebanyak 2.950. Adapun total aset khusus BUS dan UUS adalah Rp 260,366 triliun, pembiayaan Rp 196,491 triliun, dan penghimpunan DPK perbankan syariah sebesar Rp 207,121 triliun.
Namun di balik itu semua timbul pertanyaan, apakah bank-bank syariah sudah pantas menyandang titel “syariah” yang selalu mereka pakai untuk menarik nasabah? Apakah semua operasional bank syariah sudah benar-benar mengikuti kaidah syariah dan aturan-aturan Islam?
Ada beberapa referensi dan opini pribadi dimana bank syariah di indonesia belum menjalankan apa yang diatur dalam syariah seperti jawaban seorang Ustad pada tulisan ini : Bank Syariah Sama Saja Dengan Bank Konvensional, Benarkah? pada tulisan itu dikemukakan perbedaan pandangan dari 2 golongan yaitu menganggap bank syariah di indonesia sudah syariah berdasarkan DSN(Dewan Syariah Nasional) dan golongan yang menganggap bank syariah di indonesia tidak sesuai syariah.
keraguan muncul di kalangan masyarakat yang sudah sadar akan besarnya dosa riba akan tetapi bingung karena tidak ada fasilitas ataupun tempat yang bisa menjauhkan dari riba dimana bank-bank syariah yang ada tidak bisa menjelaskan dan bertanggung jawab bahwa sistem nya sudah benar-benar syariah. kalau saya pribadi masih menggunakan bank konvensional dikarenakan semua biaya kuliah harus dibayar melalui bank tersebut (sudah ada MoU antara Universitas dan Pihak Bank jadi mau tidak mau)
Namun pernah observer langsung di komplek rumah bahwa ada salah satu bank syariah terkemuka yang membentuk sebuah kelompok ibu-ibu sudah tentu untuk meminjamkan dana kepada ibu-ibu tersebut,sempat saya bertanya kepada kakak saya yg tergabung di dalamnya dimana kakak saya sekali melakukan pinjaman, ternyata dalam sistem bank tersebut terdapat dana tambahan dari pinjaman sebesar hampir 30% (pinjaman dalam 1 tahun) yang dibungkus dalam istilah tertentu, setelah tahu itu tidak lagi kakak saya meminjam uang pada bank tersebut.
kembali lagi topic ya..
Para periset perbankan syariah dan ulama masih bertentangan satu sama lain mengenai ke-syariah-an bank syariah. Sheikh Muhammad Taqi Usmani, anggota the Accounting and Auditing Organization for Islamic Finance Institutions (AAOIFI) yang menetapkan standar syariah untuk semua institusi finansial syariah di seluruh dunia menyatakan bahwa 85% dari seluruh sukuk (surat utang syariah) yang diperdagangkan di seluruh dunia tidak sesuai dengan kaidah Islam (dan tentunya berarti tidak syariah).
Perbedaan utama sukuk dan surat utang lainnya adalah tidak adanya bunga di dalam surat perjanjian antara peminjam dan pemberi pinjaman. Walaupun begitu, banyak ulama yang juga berprofesi sebagai praktisi berpendapat bahwa termin perjanjian yang kompleks banyak dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman untuk menyembunyikan “bunga” atas pinjaman. Praktek seperti ini tidak hanya terdapat di dalam sukuk, tapi juga banyak terjadi di transaksi-transaksi lain seperti pinjaman usaha, kredit rumah, dan perjanjian sewa.
Selain termin perjanjian yang kompleks, ada satu hal lagi yang dimanfaatkan peminjam untuk menyembunyikan “bunga”, yaitu dengan menggunakan istilah-istilah Islam dalam perjanjian. Praktik ini dilakukan di hampir semua bank syariah. Saat bertransaksi dengan bank syariah, nasabah/peminjam akan dicekoki dengan istilah-istilah semacam murabahah, mudarabah, ijarah, dan lain-lain. Penggunaan istilah-istilah Islam semacam itu menimbulkan kesan bahwa transaksi sudah sesuai dengan syariah, namun banyak terjadi kasus dimana pihak pemberi pinjaman hanya men-dompleng istilah-istilah Islam tetapi sebenarnya transaksi mengandung unsur riba.
Seorang bankir berkebangsaan Kuwait bernama Ahmad Al-Sarraf sempat menulis sebuah artikel tentang hal ini, yang berjudul “The Non-usury Deception”. Dalam artikel tersebut Ahmad mengutip pernyataan seorang pakar bank syariah bernama Profesor Hamid Al-‘Ali yang menyatakan “bank-bank Islam menyamarkan riba dengan membuat dokumen-dokumen yang terlihat sebagai dokumen penjualan, namun sejatinya merupakan dokumen perjanjian dengan bunga. Oleh karena itu, siapapun yang menganggap bahwa bank tradisional dan bank Islam berbeda adalah orang yang keras kepala”.
Sejatinya, prinsip perbankan yang sesuai syariah adalah konsep berbagi resiko (sharing risk). Dalam kasus mudarabah (bagi hasil), jika peminjam mendapat untung dari usahanya, maka pemberi pinjaman akan mendapat sebagian dari keuntungan tersebut. Namun jika peminjam menderita kerugian usaha, maka pemberi pinjaman tidak akan mendapatkan apapun. Dalam dunia finansial modern, konsep seperti ini paling dekat dengan konsep modal ventura (venture capital) atau juga dengan konsep reksa dana (mutual fund). Baik di dalam usaha modal ventura dan reksa dana, pemberi pinjaman juga turut menanggung resiko usaha yang dijalani peminjam, jadi jika usaha peminjam merugi, maka pemegang reksa dana atau investor modal ventura juga tidak akan mendapat apa-apa.
Kondisi di Indonesia
Di Indonesia sendiri kondisi ke-syariah-an produk perbankan syariah juga masih dalam pertanyaan besar. Menurut artikel yang ditulis oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi yang kemudian dimuat di situs www.pengusahamuslim.com, banyak bank-bank syariah yang melanggar fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yang terkait keuangan syariah.
Beberapa di antaranya adalah:
• Murabahah (pembiayaan pembelian properti)
Fatwa DSN (nomor 04/DSN-MUI/IV/200) menyatakan bahwa bank harus membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Pada prakteknya, di dalam transaksi murabahah bank hanya bertindak sebagai intermediator antara nasabah dan penjual barang yang diinginkan nasabah (biasanya berupa properti). Bank hanya menyalurkan pembiayaan untuk membantu nasabah membeli barang yang diinginkannya, tanpa membeli barang tersebut atas nama bank sendiri.
• Mudharabah (bagi hasil)
Fatwa DSN (nomor 07/DSN-MUI/IV/2000) menyatakan bahwa lembaga keuangan syariah sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika nasabah melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Praktek yang beredar luas di lapangan adalah nasabah yang mendapatkan pinjaman masih diwajibkan untuk mengembalikan modal secara utuh, walaupun dia mengalami kerugian dalam usahanya.
• Gadai emas
Fatwa DSN (nomor 25/DSN-MUI/III/2002 dan 26/DSN-MUI/III/2002) menyatakan bahwa besarnya biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman, melainkan berdasarkan kepada pengeluaran yang nyata-nyata dikeluarkan. Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa ongkos penyimpanan yang dibebankan ke nasabah seringkali melebihi biaya penyimpanan barang gadai.
Kesimpulan
Industri perbankan syariah dan institusi-institusi lainnya yang terkait syariah memang memiliki potensi yang sangat masif khususnya di Indonesia dimana 80% lebih penduduk beragama islam menjadikan itu sebuah market dalam perbankan, namun pada fakta dan kenyataannya Industri syariah saat ini belum benar-benar 100% mengikuti kaidah syariah dan aturan-aturan Islam di dalam operasionalnya sehari-hari. Masih banyak ditemukan praktek-praktek non-syariah yang dilakukan institusi berlabel syariah. Pada intinya kembali lagi ke permasalahan utama dimana manusia lah yg merusak sistem itu sendiri, meskipun suatu bank melakukan semua hal dalam ketentuan syariah namun tetap saja bank tersebut berinteraksi dengan bank-bank lainnya yang non-syariah karena sistem perbankan merupakan sikul circle yang tidak terhindarkan. lalu bagaimana kita sebagai umat islam yang mengharapkan jauh dari segala dosa agar terhindar dari riba? kita pasrahan kepada Allah SWT semoga saja suatu saat muncul muslim-muslim yang mampu mendobrak tatanan perbankan dunia.
Penulis : Thaipan Aditya Sandy
Referensi :
http://kmi-s.ppisendai.org/bank-syariah/
http://www.ojk.go.id/siaran-pers-ojk-dan-perbankan-syariah-gelar-expo-ib-vaganza-2015
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1383143419&title=bank-syariah-sama-saja-dengan-bank-konvensional-benarkah.htm

No comments:
Write comments

Search This Blog